Perhimpunan Boemi Poetra Indonesia Minta Moratorium (Penundaan) Jadwal Pilkada Serentak 2024 Karena Dianggap Inkonstitusional

34
0

MSM TV, Surabaya – Setelah melaksanakan diskusi JALANAN dan penelitian AKADEMIK dengan seksama serta dikaji secara mendalam pada aspek yuridis formal atas pelaksanaan Tahapan Pendaftaran Pilkada Serentak 2024, sebagaimana diatur di dalam Lampiran Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024 , khususnya pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXI/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXI\|/2024 pada Hari Selasa tanggal 20 Agustus 2024.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa Rapat Paripurna DPR RI yang dilaksanakan dalam tekanan puluhan ribu massa demonstran Pro Putusan MK, pada hari Kamis Tanggal 22 Agustus 2024 Sidang Paripurna DPR RI, GAGAL mengesahkan REVISI UU Pilkada karena Sidang Paripurna tidak memenuhi quorum sebagaimana ketentuan peraturan dan Tatib DPR RII yang berlaku.

Diterangkan, kewajiban pengesahan REVISI UU PILKADA pasca Putusan MK merupakan kewajiban formal bagi DPR RI atau Presiden, sebagaimana diatur oleh Pasal 10 UU Nomor 12 Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Sementara REVISI UU PILKADA (UU Nomor 1 Tahun 2015) PASCA Putusan MK belum dilakukan pengesahan oleh Sidang Paripurna DPR RI. Berarti Pihak KPU secara melawan hukum telah
menerbitkan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2024, tentang Perubahan atas Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2024 dengan hanya berdasar pada HASIL FORUM KONSULTASI dengan Komisi II DPR RI yang dilakukan pada hari Senin 26 Agustus 2024.

Demikian perbuatan melawan hukum tersebut selebihnya dijelaskan sebagamana Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXIl/2024 yang dicantumkan Walikota menjadi Undang Undang. Jelas terbukti tidak terdapat Revisi (perubahan) Undang-Undang Pilkada untuk menindak-lanjuti Putusan MK. Lebih jauh dijelaskan, bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi sejatinya sebatas hanya MEMUTUS konstitusionalitas NORMA sebuah Undang Undang, belum merupakan HUKUM POSITIF yang benar untuk diberlakukan, karena Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003
Putusan MK hanya ditetapkan FINAL tanpa BINDING.

Ketua Perhimpunan Boemi Poetra Indonesia, Robby kepada awak media mengatakan tanpa adanya revisi UU Pilkada di DPRD yang deadlock,p PKPU yang dikeluarkan KPU RI saat ini tidak memiliki dasar hukum karena putusan MK hanya sebatas norma hukum yang harus diterjemahkan melalui revisi UU Pilkada.

“Maka dari itu penerimaan calon Gubernur/wakil Gubernur, calon Bupati/wakil bupati, calon Walilota/wakil walikota yang didaftarkan ke KPU beserta tahapan Pilkadanya dianggap ilegal dan inkostitusional. Sehingga harus dilakukan moratorium atau penundaan Pilkada,” tegas Robby.

Lebih gamblang menurut Robby, putusan harus diterjemahkan dengan revisi UU Pilkada yang kemudian KPU mengeluarkan PKPU dan jika KPU mengeluarkan PKPU tanpa revisi UU Pilkada maka dianggap ilegal dan inkonstitusional.

“Kita yang tergabung dalam “Perhimpunan Boemi Poetra” berhak menyuarakan kebenaran dengan meminta dan menyerukan agar pendaftaran Calon Kepala Daerah bersama tahapannya di seluruh Indonesia dihentikan hingga adanya revisi UU Pilkada,” jelasnya.

Selanjutnya kata Robby, jika pelaksanaan Pilkada tetap dilakukan maka ini dianggap sebagai pelanggaran hukum.

“Jika KPU tidak mematuhi ketentuan dan tetap melaksanakan tahapan Pilkada maka KPU dapat dipidanakan,” tandas Robby. (dws)