Ibarat Sebuah Rumah yang di Bangun di Lereng Gunung

67
0

MSM TV, Jakarta – Judul diatas merupakan jawaban Adharta Ongkosaputra Ceo KRIS (Kill cocid-19 Relief Interenasional Services sekaligus ketua Umum Kill covid- 19, atas pertanyaan Reporter 3 stasiun TV antara lain, CNN, RCTI, TPI Tahun 2012. Pertanyaannya ialah : Apa pendapat bapak Adharta Ongkosaputra tentang Panti Asuhan Anak Anak Yatim Piatu? Ibarat Sebuah Rumah yang di bangun di Lereng gunung jawabnya.

Maka Panti Asuhan Anak Anak Yatim itu lanjut Adharta, Ibarat Jendela untuk memandang keluar, Pertama : Kalau rumah tanpa jendela bisa kita bayangkan apa yang terjadi? Kedua: Bagaimana kita merencanakan masa depan anak anak yatim disana terbentang luas wawasan masa depan kita sendiri. Ketiga : Anak anak itu ibarat Anak Anak Allah sendiri. Apa yang kita perbuat untuk mereka ? kita sudah berbuat untuk Tuhan sendiri.

Bagaimana melihatnya tanya dia balik. Bukalah Jendelah hati mu se lebar lebarnya jawabnya. Siang ini PT Sinergia Beaute Indonesia sedang membuka lebar lebar jendela rumah hati mereka. Tuhan sedang memandang senyuman mereka dan Anak anak Panti Asuhan Santo Yusup.

Secara singkat berdirinya Panti Asuhan Santo Yusup (PASY) Sindang laya. Menurut penjelasan Mgr. N. Geise, OFM., sejak bulan Mei 1941 Keuskupan Bogor memperoleh hak penguasaan atas tanah kompleks Santo Yusuf di Sindanglaya dari pemiliknya yang lama, seorang Belanda pengusaha Hotel Sindanglaya.

Sejak semula, pemilik hotel Sindanglaya telah membuka tempat perawatan anak-anak Indo-Eropa yang rentan kesehatannya untuk memperoleh pendidikannya di alam pegunungan yang sejuk terutama yang lebih sesuai iklimnya bagi mereka. Untuk melanjutkan karya tersebut dimulai dengan membangun asrama dan memperbaiki bangunan gedung sekolah yang telah mulai rapuh.

Pater CN. Vd. Laan OFM pernah menyampaikan gagasannya bahwa untuk membangun Panti Asuhan Santo Yusuf sebagai suatu “Monumen Kasih yang Hidup”, maka perlu pengabdian cinta dan menebar kasih secara nyata bagi segenap kaum papa dan anak bangsa yang terlantar tanpa pandang bulu. Gaya kotbahnya yang khas dan menarik serta tegur sapanya yang lembut telah menyentuh para dermawan untuk mengulurkan tangan kasih mereka untuk berperan serta mewujudkan gagasan “Monumen Kasih yang Hidup” tadi.

Para penanggung jawab Panti Asuhan Santo Yusuf tentunya tidak bermaksud untuk memperpanjang barisan pengangguran. Mereka menyadari bahwa pendidikan dasar 9 tahun belumlah memadai untuk membekali anak asuhnya agar menjadi sumber daya manusia yang handal. Menanggapi masalah tersebut, Panti Asuhan Santo Yusuf Sindanglaya berupaya memberdayakan anak asuhnya melalui beberapa program, seperti:

Peningkatan mutu pendidikan dan pengajaran, dilakukan melalui pelengkapan buku-buku perpustakaan sebagai sarana memperluas pengetahuan dan wawasan mereka. Dengan cara demikian, diharapkan anak asuh memiliki intelejensi serta prestasi yang tinggi sebagai bekal dasar untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang SLTA ataupun Kejuruan.

Pendidikan Keterampilan dalam bidang: Farming: Pertanian dan peternakan. Tataboga, tatabusana, dan tatarias, agar anak asuh memperoleh bekal dasar untuk menanggapi berbagai segi kehidupan dalam masyarakatnya.

Dana Panti Asuhan Santo Yusuf yang setiap harinya harus dibelanjakan tidaklah sedikit. Biaya hidup dan biaya pendidikan anak asuh dirasakan sangat memberatkan. Dana tersebut bersumber dari sumbangan:

Pemerintah c.q. Departemen Sosial, Yayasan Dharmais, Orangtua, wali anak titipan, Para dermawan, penyandang dana, donatur tetap maupun tidak tetap.

Selama lebih dari lima puluh tahun karya pengabdiannya, Panti Asuhan Santo Yusuf Sindanglaya telah menabur benih kasih di sela ilalang derita yang pedih menyayat. Benih kasih yang tertanam pada kesadaran lubuk hati yang terbuka, telah tumbuh bersemi untuk membuahkan kepribadian yang teguh dan mandiri. Hal itu bukan hanya dirasakan oleh anak asuh, tetapi juga oleh para Pamongnya. Seorang sahabat alumnus menuturkan bahwa segala tempaan mental dan ketatnya pengaturan waktu selama dalam pembinaan Panti Asuhan Santo Yusuf telah menjadi tonggak yang sangat berarti dalam mengukir sejarah hidup keluarga masing-masing.

Memasuki millenium ketiga, nampaknya Panti Asuhan Santo Yusuf akan menghadapi tantangan yang lebih berat. Apalagi kalau ditambah dengan persoalan di masyarakat, seperti masalah sosial-politik, sosial-ekonomi, dan gerak perubahan sosial-budaya. Beban krisis ekonomi yang kini sedang melanda Bangsa Indonesia, telah semakin menindih masyarakat lapis, bawah serta memporak-porandakan kehidupan mereka.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) telah memperpanjang deretan pengangguran. Himpitan ekonomi telah mendesak anak-anak terlempar keluar dari bangku sekolah. Hal ini semakin menambah gemuruhnya anak jalanan yang menjerit nyaring untuk menjajakan kegetiran hidup mereka. Itu semua akan menjadi tantangan bagi kita semua, manusia-manusia yang masih mempunyai suara hati. (Disunting dari: “Buku Kenangan Pesta Emas Panti Asuhan Santo Yusuf 1947-1997”, yang pernah dimuat dalam buku 50 Tahun Keuskupan Bogor, 1998). ( Ring-o)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here